Next 2


Untuk keluar dari dikotomi lokal-universal, mungkin kita bisa meminjam konsep modal sosial dan kultural. Seandainya rekonstruksi historis yang dilakukan oleh Khalil Abdul Karim mendekati kesaksian Umar bin Khattab RA bahwa “al-Arab maaddat al-Islam, wa maaddat as-syai' ashluhu wa ma'dinuhu wa qiwamuhu” ( Kultur Arab adalah akar, kandungan dan penyangga agama Islam), sementara kesaksian Umar mendekati praktek Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya, maka di hadapan kita terbuka suatu wilayah tafsir baru terhadap pengalaman Islam di masa Nabi. Bukankah dengan demikian terbuka kemungkinan tafsir, bahwa inti pengalaman Islam adalah, antara lain, pengalaman etis-religius dalam mengumpulkan, mengelola dan mengembangkan modal sosio-kultural sendiri. Bukan malah meninggalkan atau menghancurkannya, lalu mengimpor atau berhutang pada modal sosio-kultural asing. Demikian pula halnya dengan sebutan “jahiliyyah” kepada masyarakat Arab waktu itu, bukankah ini berkaitan dengan ketidakberdayaan etis-religius mereka untuk membentuk, mengelola dan mengembangkan modal sosio-kultural mereka sendiri. Surplus ekonomi mereka sebagai dampak berkembangnya jalur-jalur perdagangan baru telah merusakkan bangunan moral mereka, antara lain sifat karim (suka berderma), yang menyebabkan rentannya bangunan sosial mereka terhadap pertikaian dan berujung pada kemustahilan mereka membentuk kedaulatan bersama sebagai bangsa. Sehingga Nabi SAW bersabda: “Bu'itstu li utammima makarimal akhlaq” (Aku diutus untuk menyempurnakan moralitas). Dan ayat Al-Qur'an yang saya sebutkan di dalam pembuka tulisan ini di atas, bisa dibaca sebagai jangkar imajinasi sosial yang memberikan kerangka dan arahan (strategi kebudayaan) bagi upaya mengatasi silang-sengkarut dan saling tabrak antar berbagai sumberdaya sosio-kultural yang ada. Dalam ayat tersebut, “Kalimat yang Baik” yaitu kesaksian “La ilaha illa Allah” yang meliputi penghayatan individu maupun proses sosial, diibaratkan seperti “Pohon yang Baik”. Artinya berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk terus hidup-dinamis-produktif, yaitu yang “Akarnya menghunjam di Bumi” artinya secara individu berakar pada penelusuran ke dalam diri sendiri yang paling dalam dan secara sosial berakar pada pembentukan modal sosio-kultural sendiri yang paling kuat. Sementara “Ranting Pohon itu menjulang ke Langit” artinya, secara individu proses penghayatan sampai kepada puncak tertinggi yakni kebebasan dari rasa takut dan secara sosial proses pengelolaan sumberdaya sosio-kultural sampai kepada puncak tertinggi yakni kedaulatan bangsa. “Pohon itu berbuah setiap saat, atas izin Tuhannya” artinya, proses pencapaian kebebasan individu dan kedaulatan bangsa tersebut tidak pernah berhenti, berlangsung terus menerus, dan senantiasa memberi inspirasi kepada individu-individu maupun bangsa-bangsa lainnya untuk menapaki jalan yang sama. Kemudian sebaliknya, metafor bagi “Kalimat yang Buruk” seperti “Pohon yang Buruk”: “Tercerabut dari Akar-Bumi” dan akibatnya “Tidak punya Kekuatan" *****
Demikianlah, kalau pengalaman Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan pembentukan, pengelolaan serta pengembangan modal sosio-kultural bangsa Arab. Maka kalau kita menelusuri kisah-kisah para wali dalam mengembangkan agama Islam di pelbagai pelosok Nusantara kita, walau samar-samar akan didapati suatu pola yang agak simetris dengan pola kenabian, al-ulama waratsatul anbiya'. Dakwah yang mereka kembangkan membantu para kawula (hamba) untuk menemukan identitas mereka sebagai diri-pribadi, walau belum penuh namun mereka sampai kepada sebutan “rakyat” (ra'iyyah), dan secara sosial dakwah para wali membantu suatu komunitas untuk tumbuh berdasarkan akar lokalnya masing-masing sehingga kita dapati identitas-identitas seperti Tolotang, Kajang, Bissu di Sulsel, Sasak di NTB, Kejawen di Jawa, Sunda Wiwitan di Pasundan dan sebagainya. Masing-masing identitas ini saling berkait untuk menopang dan mewarnai suatu peradaban di atasnya lagi, yaitu Nusantara. Namun, dari sejarah kita tahu bahwa, bangunan sosio-kultural tersebut belum sampai kepada puncaknya, ketika jaringan ekonomi yang menjadi basis dari bangunan sosio-kultural itu sedikit demi sedikit dikalahkan oleh kapal-kapal dagang dari bangsa-bangsa Eropa yang berdatangan mulai abad XVI. Mulailah era yang kelak akan kita sebut sebagai kolonialisme-imperialisme, yang pada akhirnya tidak hanya merebut jaringan ekonomi namun juga menghancurkan bangunan sosio-kultural yang ada. Begitulah, walaupun ketika masa-masa perang kemerdekaan dasawarsa 40-an kita masih melihat energi dari bangunan sosio-kultural yang ada melalui kekuatan kata-kata “rakyat” yang terus bergaung dan terekam ke dalam lagu-lagu kebangsaan dan dokumen-dokumen resmi kenegaraan ketika “kemerdekaan” diproklamasikan, namun pada saat bersamaan kita juga menyaksikan bahwa perjalanan bangsa Indonesia tidak mengarah menjadi “Pohon yang Baik”. Polemik Kebudayaan yang berkobar tahun 1930-an menunjukkan dengan baik kepada kita bahwa pada saat itu sebagai bangsa kita benar-benar di dalam kebingungan menentukan arah. Sebagian ingin meninggalkan total “masa lalu” dan menjiplak total peradaban Barat-Eropa sebagai bangsa yang maju dan menang. Sementara sebagian yang lain ingin berpijak pada “masa lalu”, kebudayaan sendiri, tetapi pada saat bersamaan kehilangan deskripsi historis terhadap “masa lalu” dan wujud kebudayaan bangsa sendiri. Dua pilihan yang sama-sama tidak mengarah pada tumbuhnya “Pohon yang Baik”. Akibatnya, kita terus bertikai secara destruktif hampir dalam semua sektor kehidupan dan tragedi tahun 65 menandai satu puncaknya yang paling memilukan. Bahkan sampai sekarang! *****
Bagaimana kita sekarang ini mesti melakukan rekonstruksi pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia dalam konteks seperti di atas? Mampukah gerakan Islam kontemporer menyumbangkan sesuatu yang kreatif untuk membantu pemulihan krisis kebangsaan? Inikah akhir zaman budaya kita? Saya yakin kita mampu, dan menyambut makna “akhir zaman” sebagai titik balik peradaban: dari gerak destruktif menuju gerak konstruktif-kreatif. Dan dengan demikian, kita bisa menyambut makna “kiamat” yang hakiki sebagai “tegaknya kebenaran”, kembalinya segala sesuatu yang “maya” pada yang “Nyata”. Wallahu a’lam bis shawab. 
Keterangan: Pidato kebudayaan di atas disampaikan M. Jadul Maula, 28 Maret 2013, di PBNU

Popular Posts